
Dosen UM Bandung: Impor Gula Pasir Tinggi, Stevia Bisa Jadi Alternatif Pemanis Alami
UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Dosen program studi Teknologi Pangan UM Bandung, Ana Nadiya Afinatul Fishi, menyatakan bahwa kebutuhan pemanis di Indonesia semakin meningkat setiap harinya. Produksi gula tebu pada tahun 2018 mencapai sekitar 7,13 juta ton.
Hal ini disampaikan Ana dalam diskusi Mimbar Iqra UM Bandung edisi ke-8 yang berlangsung di Balkon Auditorium KH Ahmad Dahlan lantai empat kampus UM Bandung pada Selasa (05/12/2023).
Ana menjelaskan bahwa tingginya penyediaan gula pasir juga disebabkan oleh impor gula pasir yang cukup tinggi. Impor tersebut berupa gula rafinasi yang dibutuhkan untuk industri.
Pada tahun 2018, impor gula pasir mencapai 731,4 ribu ton sementara ekspornya sekitar 1,82 ribu ton. “Oleh karena itu, perlu dicari alternatif pemanis alami yang aman bagi kesehatan dan dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Salah satu alternatif pemanis alami adalah daun stevia (Stevia rebaudiana Bertoni),” ujar Ana.
Ana menerangkan bahwa daun stevia berasal dari tanaman semak yang telah lama digunakan sebagai pemanis di Amerika Selatan dan Asia. Awalnya, tanaman stevia dikembangkan di Brazil dan Paraguay. Kemudian menyebar ke Jepang, Korea Selatan, Papua Nugini, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Indonesia pada tahun 1977.
“Daun stevia mengandung stevioside dan rebaudioside dengan tingkat kemanisan 300 kali dibandingkan dengan sukrosa. Gula cair stevia diketahui memiliki tingkat kemanisan 1,2 kali atau 240 kali lebih manis daripada sukrosa,” jelas Ana.
Aman untuk penderita diabetes
Daun stevia memiliki beberapa keunggulan, antara lain tidak menyebabkan karies gigi, kanker pada pemakaian jangka panjang, dan bernilai kalori rendah. Daun stevia bagus dikonsumsi oleh penderita diabetes, obesitas, atau orang yang sedang diet.
Selain manis, daun stevia juga memiliki aftertaste berupa rasa pahit yang disebabkan oleh senyawa polifenol. Rasa manis pada stevia berasal dari kandungan utama yaitu steviosida yang diperoleh melalui ekstraksi.
“Proses ekstraksi secara umum dapat dilakukan secara konvensional dengan cara maserasi, perkolasi, refluks, dan soxhletasi. Pemanis stevia dapat dijadikan beberapa produk, seperti kristal stevisioda, teh stevia, bubuk ekstrak stevia, dan gula cair. Di antara produk-produk tersebut, teh stevia merupakan produk pemanis stevia yang paling diminati,” tambah Ana.
Dengan meningkatnya kebutuhan pemanis, diperlukan pemanis alami lain yang aman bagi kesehatan dan tentunya memenuhi kebutuhan pemanis di Indonesia.
Stevia, kata Ana, dapat menjadi solusi untuk menjawab tantangan tersebut. Pengembangan stevia di Indonesia membutuhkan benih unggul bersertifikat sehingga dapat menghasilkan stevia yang bermutu, berkualitas baik, dan berdaya saing.
Menguntungkan secara ekonomi
Ana menjelaskan bahwa penanaman stevia di Minahasa, Sulawesi Utara, misalnya, sangat menguntungkan secara ekonomi bagi para petani. Stevia dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan hasil panen yang cepat.
“Setiap bulan bisa panen dalam kondisi tertentu. Pemotongan daun stevia dilakukan secara singkat dan langsung tumbuh tunas baru. Begitu seterusnya,” kata Ana.
Secara umum, di Jawa, daun stevia segar dijual sekitar Rp 250.000 hingga Rp 300.000 per kilogram, sedangkan daun stevia kering dengan kadar air 8 persen bervariasi antara Rp 20.000 hingga 30.000 per 100 gram.
Namun, di Minahasa, daun stevia kering dengan kadar air 12 persen dijual dengan harga Rp 16.000 per kilogram. Ekspor perdana stevia sebanyak 1.200 ton ke Korea Selatan terjadi pada Juli 2021. “Peluang usaha sangat terbuka lebar bagi para investor dan pelaku usaha agar perkembangan stevia ini dapat berkelanjutan,” pungkas Ana.
Peserta Mimbar Iqra sangat antusias dalam sesi tanya jawab. Berbagai pertanyaan terkait teknologi pengolahan, aspek kesehatan, dan pasar industri pangan terkait Stevia menjadi sorotan utama dalam diskusi.
Selain mahasiswa lintas prodi UM Bandung, Mimbar Iqra edisi kali ini juga dihadiri oleh sebagian mahasiswa Universitas Al-Ghifari. Hadir pula penggagas Mimbar Iqra, Roni Tabroni, dan Wakil Rektor I UM Bandung, Hendar Riyadi.***(FA)