Fenomena Gen-Z: Tantangan Mentalitas dan Soft Skill di Era Digital

Oleh: Ace Somantri*

UMBANDUNG.AC.ID -- Memasuki era milenium, dunia menyaksikan pergeseran generasi yang signifikan. Baby boomers telah melewati masa keemasannya, digantikan oleh milenial, dan kini, generasi alfa mulai mengambil panggung. Di balik itu semua, media sosial menjadi ruang interaksi utama, terutama bagi remaja yang aktif berselancar dalam arus digital.

Teknologi digital berkembang begitu pesat, menerobos batas-batas kehidupan dengan tiba-tiba. Kehadirannya tidak jarang membawa disrupsi besar yang memaksa perubahan tanpa kompromi. Banyak sektor industri kewalahan menghadapi gempuran perubahan ini, bahkan mengalami kejatuhan karena gagal beradaptasi. Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin meluas, meninggalkan jejak kerugian yang mendalam.

Era digital telah membawa disrupsi besar pada dunia kerja. Banyak perusahaan harus berjuang menyesuaikan diri, terutama dalam mengelola sumber daya manusia (SDM). Generasi milenial dan Gen-Z yang menjadi tulang punggung industri ternyata menghadirkan tantangan tersendiri. Salah satu isu utama adalah transformasi mentalitas kerja mereka, yang dinilai kurang tangguh dan stabil.

Fenomena PHK yang melibatkan Gen-Z banyak dibahas di media. Salah satu alasan utamanya adalah ketidakseimbangan antara kemampuan teknis dan soft skill mereka. Generasi ini kerap berpindah-pindah pekerjaan karena merasa bosan atau tidak nyaman, yang mencerminkan kelemahan pada sisi mentalitas dan inisiatif kerja.

Salah satu akar masalah ini terletak pada pola asuh yang diterapkan di keluarga. Banyak Gen-Z tumbuh dalam lingkungan yang permisif, dengan orang tua yang cenderung memanjakan mereka sejak kecil. Pola ini berbeda jauh dengan generasi sebelumnya, yang terbiasa hidup dalam kondisi keras dan penuh disiplin. Akibatnya, Gen-Z lebih sensitif terhadap tekanan dan cenderung mudah menyerah saat menghadapi kritik.

Selain itu, teknologi digital juga turut membentuk pola pikir generasi ini. Kehadiran smartphone dan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka, memengaruhi cara mereka berinteraksi dan bereaksi terhadap dunia nyata. Kombinasi antara pola asuh permisif dan pengaruh media sosial membentuk karakter yang kurang tangguh.

Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa rendahnya motivasi kerja menjadi salah satu alasan utama perusahaan melakukan PHK terhadap Gen-Z. Berdasarkan laporan, 35-50 persen PHK disebabkan oleh kurangnya inisiatif dan mentalitas kerja yang lemah. Kondisi ini menjadi catatan penting bagi perusahaan dan institusi pendidikan.

Fenomena ini juga memperlihatkan pentingnya peran pendidikan dalam membentuk soft skill dan karakter generasi muda. Sayangnya, sistem pendidikan formal selama ini cenderung fokus pada aspek kognitif, dengan pendekatan yang sering kali kaku dan tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Aspek penguatan soft skill sering kali terabaikan.

Lingkungan keluarga juga memainkan peran penting dalam membentuk mentalitas anak. Orang tua yang terlalu protektif cenderung memberikan segalanya tanpa melibatkan anak dalam proses usaha. Hal ini menyebabkan anak tumbuh dalam zona nyaman yang justru melemahkan kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan di dunia nyata.

Pola pengasuhan seperti ini harus dievaluasi. Orang tua perlu memberikan ruang bagi anak untuk belajar mandiri dan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Selain itu, institusi pendidikan harus mulai menerapkan pendekatan yang lebih integratif, mengombinasikan penguatan soft skill, pengembangan minat bakat, dan pendekatan spiritual.

Penting pula bagi sekolah dan perguruan tinggi untuk memasukkan materi pengembangan karakter dan soft skill ke dalam kurikulum. Hal ini dapat membekali Gen-Z dengan kemampuan yang relevan untuk menghadapi tantangan dunia kerja dan kehidupan secara umum.

Dalam perspektif psikologi, fase tumbuh kembang seseorang sangat menentukan karakter mereka di masa dewasa. Oleh karena itu, pendekatan yang sistematis dalam mengasah kemampuan soft skill sejak dini menjadi kebutuhan mendesak. Penelitian psikologis yang mendalam diperlukan untuk mengidentifikasi solusi efektif atas permasalahan ini.

Selain itu, penting untuk memperkuat kerja sama antara keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat dalam menciptakan generasi yang tangguh. Dengan pendekatan yang tepat, Gen-Z dapat menjadi generasi yang mampu menghadapi era digital dengan kesiapan mentalitas dan kemampuan yang memadai.

Fenomena PHK massal yang melibatkan Gen-Z harus menjadi perhatian semua pihak. Ini bukan hanya masalah perusahaan, tetapi juga cerminan dari kurangnya kesiapan generasi muda menghadapi tantangan zaman. Dengan evaluasi menyeluruh terhadap pola asuh dan sistem pendidikan, kita dapat menciptakan generasi yang lebih tangguh, adaptif, dan siap bersaing di dunia global. Wallahu'alam.

*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar