Konsep Ekonomi Rasulullah SAW Jadi Fondasi Ekonomi Islam Modern

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung – Ketua program studi Ekonomi Syariah Yudistia Teguh Ali Fikri mengatakan bahwa konsep ekonomi pada masa Rasulullah SAW melahirkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi pemikiran ekonomi Islam hingga saat ini.

“Bahkan, pemikir Barat seperti Adam Smith, pembuat teori kapitalisme, mengambil inspirasi dari pemikiran-pemikiran tokoh Islam,” tutur Yudistia saat mengisi kajian Gerakan Subuh Mengaji seperti dikutip dari Youtube TVMU Channel pada Rabu (22/05/2024).

Perkembangan ekonomi Islam memiliki fase awal yang ditandai dengan pembangunan sistem ekonomi pada masa Nabi Muhammad SAW. Fase ini mencakup pendirian baitulmal, pendapatan dari zakat, infak, dan sedekah, serta kebijakan moneter yang melibatkan penggunaan alat tukar seperti dinar dan dirham.  “Pada masa itu, prinsip distribusi zakat telah diatur dengan profesional, memberikan kontribusi pada stabilitas ekonomi,” kata Yudistia.

Perkembangan ekonomi Islam berlanjut ke masa kekhalifahan, di mana tokoh seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan menerapkan kebijakan ekonomi yang inovatif, seperti pembentukan baitulmal dan pengembangan infrastruktur.

Pada fase pertengahan, pemikiran ekonomi di masa Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun memainkan peran penting dalam pemikiran ekonomi Islam. Al-Maqrizi, misalnya, menggunakan zakat untuk mengatasi krisis ekonomi di Mesir.

“Fase modern ditandai dengan munculnya pemikiran ekonomi dari para pemikir seperti Muhammad Baqir Al-Sadr dan Sayyid Qutb. Mereka membentuk mazhab-mazhab ekonomi yang memengaruhi pemikiran ekonomi global,” ujar Yudistia.

Sementara itu, perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 dengan lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada 1990-an, diskursus ekonomi syariah mulai berkembang sebagai alternatif bagi sistem kapitalisme dan sosialisme.

Inklusif dan berkelanjutan

Pemerintah Indonesia mulai serius memperhatikan perkembangan ekonomi syariah pada tahun 2016 dengan pembentukan KNKS. Ini mencakup sektor makanan halal, pariwisata, industri kreatif, farmasi, dan perbankan syariah. Industri kreatif, seperti media dan mode, memiliki potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi syariah.

“Sektor perbankan syariah telah berkembang pesat di Indonesia, dengan bank-bank seperti Bank Muamalat menjadi percontohan. Lembaga-lembaga keuangan sosial, seperti lembaga zakat, juga berperan penting dalam distribusi keadilan ekonomi,” ungkap Yudistia.

Potensi ekonomi syariah di Indonesia meliputi industri makanan halal, pariwisata, media, dan keuangan syariah. Pemerintah dan pelaku ekonomi perlu bekerja sama untuk mengoptimalkan potensi ini demi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Tantantan ke depan

Yudistia berharap dengan pemahaman yang lebih baik tentang konsep ekonomi syariah, diharapkan masyarakat dapat mengembangkan potensi ekonomi Islam di Indonesia secara lebih luas dan berkelanjutan.

Adapun tantangan ke depan, kata Yudistia, yakni soalnya kurang literasi, minimnya sumber daya manusia, termasuk mengembangkan penelitian dan pengembangan. Misalnya saja mengembangkan ilmu ekonomi Islam dengan mendirikan program penelitian ekonomi Islam di perguruan tinggi. Tantangan lainnya adalah soal fatwa, regulasi, dan tata kelola.***(FA)