Literasi Digital Kunci Transparansi Pelayanan Publik

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung menggelar Kuliah Bareng Birokrat bertema “Keterbukaan Informasi untuk Mewujudkan Pelayanan Publik yang Transparan” pada Jumat (20/12/2024).

Acara ini menjadi bagian dari integrasi mata kuliah governansi dan administrasi publik, di mana mahasiswa dilibatkan untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan. Tujuannya adalah meningkatkan literasi dan kompetensi mahasiswa dalam administrasi publik.

Kaprodi Administrasi Publik UM Bandung Meti Mediyastuti Sofyan menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang untuk membekali mahasiswa dengan wawasan praktis dan mendalam terkait keterbukaan informasi. “Keterbukaan informasi adalah fondasi demokrasi dan transparansi pelayanan publik. Mahasiswa harus memahami pentingnya hal ini dalam konteks profesional,” ujar Meti seperti dikutip dari laman bandung.go.id.

Pada edisi kali ini, Sub Koordinator Penguatan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Diskominfo Kota Bandung Yusuf Cahyadi hadir sebagai narasumber. Ia menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Bandung telah menjalankan amanat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) secara efektif sejak 2015. Yusuf menyebut Pemkot secara rutin mempublikasikan informasi melalui berbagai platform seperti website bandung.go.id dan aplikasi SIMONIK.

Hingga saat ini, Pemkot Bandung telah membentuk 77 PPID Pembantu di tingkat Organisasi Perangkat Daerah (OPD), BLUD, dan BUMD, serta 347 PPID Sub Pembantu yang tersebar di satuan pendidikan SD dan SMP. Yusuf menekankan bahwa keterbukaan informasi tidak hanya soal penyediaan data, tetapi memastikan aksesibilitas informasi sesuai dengan koridor hukum, termasuk Pasal 17 UU KIP yang mengatur Daftar Informasi yang Dikecualikan.

Dalam paparannya, Yusuf menyoroti pentingnya literasi digital bagi birokrat di tengah transformasi digital. “Birokrat harus menguasai teknologi untuk mendukung keterbukaan informasi, tetapi ini memerlukan pelatihan yang memadai,” katanya. Ia juga mencatat bahwa ketimpangan infrastruktur teknologi di sejumlah wilayah Indonesia masih menjadi hambatan besar bagi optimalisasi keterbukaan informasi.

Selain itu, Yusuf menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Salah satu metode yang efektif adalah public hearing yang memungkinkan birokrasi menyerap aspirasi publik secara langsung. Hal ini, menurutnya, dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelayanan publik.

Diskusi interaktif dalam acara ini berhasil menggali pengalaman serta tantangan yang dihadapi birokrasi dalam mengimplementasikan keterbukaan informasi. Mahasiswa juga diajak untuk memahami peran mereka sebagai calon birokrat dalam mendukung demokrasi yang transparan.

“Keterbukaan informasi bukan hanya hak masyarakat, tetapi juga tanggung jawab birokrasi. Pelayanan publik yang transparan akan menciptakan kepercayaan dan meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat,” pungkas Yusuf.***