Keberagamaan Anak Dipengaruhi Keluarga dan Insting Religius

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Dosen program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Bandung Adzanishari Mawaddah Rahmah mengungkapkan bahwa perkembangan keberagamaan manusia memiliki karakteristik yang unik.

Hal ini berbeda dengan perkembangan aspek psikologis yang umumnya meningkat pada masa kanak-kanak hingga remaja dan kemudian berangsur menurun.

”Perkembangan keberagamaan cenderung meningkat secara terus-menerus. Selain itu, perkembangan keberagamaan juga tidak selalu mengikuti tahapan yang sama pada setiap individu,” ujar Rahmah dalam Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat belum lami ini.

Menurut Rahmah, manusia pada dasarnya memiliki fitrah untuk memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan, menghamba, dan beragama.

Hal ini didukung oleh hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan orang tuanyalah yang kemudian membentuknya.

Pada masa anak-anak, pertanyaan-pertanyaan seputar agama, Tuhan, dan ibadah sering muncul. Anak-anak mungkin bertanya tentang di mana Tuhan tinggal atau seperti apa wajah Allah.

Pertanyaan-pertanyaan ini, kata Rahmah, menunjukkan rasa ingin tahu yang besar anak-anak terhadap konsep-konsep keagamaan.

Rahmah menjelaskan bahwa karakteristik kehidupan beragama pada masa anak-anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lingkungan keluarga dan religious instinct.

Selain itu, terdapat beberapa karakteristik umum dalam keberagamaan anak, seperti imitasi, kecenderungan superfisial dan ritualistik, autoritatif, konkret, antropomorfis, dan egosentris.

”Imitasi menjadi salah satu cara awal anak dalam memahami agama, di mana mereka meniru apa yang dilihat dari lingkungan sekitar. Keberagamaan pada anak juga cenderung superfisial dan ritualistik, di mana pemahaman dan penghayatan agama belum mendalam. Orang dewasa di sekitar anak, terutama orang tua, memiliki pengaruh dominan dalam keberagamaan anak (autoritatif),” imbuhnya.

Perkembangan kognitif anak juga memainkan peran penting dalam kehidupan beragama mereka. Anak-anak memahami Tuhan dan konsep keagamaan melalui hal-hal konkret yang mereka amati dan rasakan sehari-hari.

Pada fase operasional konkret (7-11 tahun), anak-anak mulai berpikir logis namun masih menginterpretasikan hal-hal abstrak secara konkret, sehingga banyak pertanyaan muncul.

Konsep supranatural atau abstrak dalam agama sering kali dipahami anak-anak melalui konsep yang mereka kenal di lingkungan sekitar (antropomorfis).

Selain itu, pemahaman anak-anak tentang Tuhan juga cenderung egosentris, yakni Tuhan dipersepsikan sebagai pemenuh kebutuhan diri.

Dalam mengenalkan Tuhan dan ibadah pada anak, Rahmah menekankan pentingnya memberikan contoh yang baik dan konsisten, melibatkan anak dalam ritual keagamaan, menjelaskan makna Tuhan dan ibadah sesuai dengan usia anak, serta menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, Rasul, ibadah, dan agama.***(FA)