Berita

Cukup Pakai Kartu UTBK, Camaba Bisa Langsung Daftar Kuliah di UM Bandung Tanpa Tes Lagi

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung) mengumumkan pembukaan pendaftaran mahasiswa baru dengan persyaratan yang lebih mudah. Kini, calon mahasiswa hanya perlu melampirkan kartu tes Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) untuk bisa mendaftar di universitas ini. Ini khusus bagi calon mahasiswa yang gagal UTBK.

"Tanpa ada tes lagi. Langkah ini kami ambil untuk memudahkan calon mahasiswa yang tidak berhasil lolos UTBK. Jangan berkecil hati jika tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Kami menyediakan jalur yang sangat mudah bagi calon mahasiswa baru yang ingin kuliah di UM Bandung, cukup dengan melampirkan kartu tes UTBK," ujar Cecep Hasanudin, staf Promosi dan PMB UM Bandung, di ruang kerjanya baru-baru ini, pada Selasa (25/06/2024).

Calon mahasiswa baru dipersilakan mengakses laman resmi UM Bandung di umbandung.ac.id atau pmb.umbandung.ac.id, kemudian mengisi kolom yang sudah disediakan dan melengkapi persyaratan yang tercantum. Informasi lebih lanjut bisa menghubungi nomor admin PMB UM Bandung di 081395046574 (Admin 1), 081395046575 (Admin 2), dan 087898786476 (Admin 3).

Calon mahasiswa baru UM Bandung juga dapat mengikuti informasi terbaru melalui media sosial Facebook, TikTok, YouTube, Instagram, dan Twitter (X). Semua informasi terbaru akan diunggah di semua platform media sosial UM Bandung. "Jangan sia-siakan kesempatan emas ini hingga September 2024. Kesempatan ini sangat terbatas. Oleh karena itu, kami mengajak calon mahasiswa baru maupun orang tua untuk segera mendaftar ke UM Bandung melalui jalur yang sangat mudah ini," tandas Cecep.

Ada empat fakultas di UM Bandung dengan total delapan belas program studi (prodi) yang bisa dipilih oleh calon mahasiswa baru. Pertama, Fakultas Sains dan Teknologi meliputi prodi Teknik Elektro, Teknik Industri, Teknik Informatika, Teknologi Pangan, Farmasi, Agribisnis, dan Bioteknologi. Kedua, Fakultas Ekonomi dan Bisnis meliputi prodi Akuntansi dan Manajemen.

Ketiga, Fakultas Sosial dan Humaniora meliputi prodi Psikologi, Kriya Tekstil & Fashion, Administrasi Publik, dan Ilmu Komunikasi. Keempat, Fakultas Agama Islam meliputi prodi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ekonomi Syariah, dan Hukum Keluarga Islam.***(FA/FK)

Administrator

Kriya Tekstil dan Fashion UM Bandung Gandeng LSP Batik Untuk Uji Kompetensi Mahasiswa

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Program Studi Kriya Tekstil dan Fashion Universitas Muhammadiyah Bandung berhasil mengadakan uji kompetensi sektor batik dalam rangka program sertifikasi kompetensi kerja tahun 2024 pada Senin (24/06/2024).

Acara pembukaan dihadiri oleh Wakil Rektor I UM Bandung Hendar Riyadi, Wakil Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora UM Bandung Aziz Taufik Hirzi, Ketua Program Studi Kriya Tekstil dan Fashion UM Bandung Saftiyaningsih Ken Atik, serta tamu undangan lainnya.

Puluhan mahasiswa dari berbagai angkatan mengikuti uji kompetensi ini. Kegiatan ini menghadirkan tim dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Batik sebagai asesor uji kompetensi.

Ketua Prodi Kriya Tekstil dan Fashion UM Bandung, Saftiyaningsih Ken Atik, menyampaikan apresiasi dan rasa syukurnya atas terselenggaranya uji kompetensi ini. Ia menjelaskan bahwa ada dua skema yang diujikan, yaitu pembatik tulis dan tukang gambar motif batik.

“Uji kompetensi ini merupakan pengakuan terhadap kompetensi dan kemampuan mahasiswa dalam sektor batik. Selain menjadi pelengkap ijazah, sertifikasi kompetensi ini juga membuktikan bahwa mahasiswa Prodi Kriya Tekstil dan Fashion UM Bandung memiliki keahlian dalam membatik,” jelas Ken Atik.

Ken Atik berharap mahasiswa yang mengikuti uji kompetensi dapat meningkatkan kreativitas dan kepercayaan diri mereka dalam sektor batik. "Kami berharap sertifikasi ini dapat membantu mahasiswa meningkatkan kemampuan mereka dan dihargai sebagai tenaga profesional," tambahnya.

Ketua LSP Batik, Rodia Syamwil, menyatakan bahwa uji kompetensi ini menjadi bukti indeks kerja mahasiswa dalam kompetensi sektor batik. "Mahasiswa yang mengikuti sertifikasi ini akan mendapatkan manfaat dan pengakuan sebagai individu yang kompeten dan siap bekerja di bidangnya," ujar Rodia.

Rodia juga menyampaikan bahwa sertifikasi ini dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk bekerja lebih baik dalam mengembangkan sektor batik. "Sektor batik yang merupakan warisan budaya Indonesia sangat membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, minimal setingkat mahasiswa," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa biasanya sumber daya manusia di sektor batik hanya berasal dari orang-orang yang belajar secara turun-temurun dari keluarganya. "Saat ini, mereka yang ingin menekuni sektor batik dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari kampus," imbuh Rodia.

Rodia berpesan kepada para mahasiswa Prodi Kriya Tekstil dan Fashion UM Bandung untuk melanjutkan dan mengembangkan batik sebagai warisan budaya. "Mahasiswa harus menjadi individu yang kompeten sehingga dapat melestarikan batik sebagai warisan budaya milik bangsa Indonesia," tandasnya.***

Administrator

Catat! Ini 4 Jalur Pendaftaran Kuliah di UM Bandung

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung saat ini sedang membuka pendaftaran mahasiswa baru tahun ajaran 2024/2025. UM Bandung yang punya gedung 14 lantai ini beralamat di Jalan Soekarno-Hatta Nomor 752, Panyileukan, Cipadung Kidul, Kota Bandung 40614.

Nah, untuk kamu calon mahasiswa baru yang masih bertanya bagaimana sih cara masuk dan daftar menjadi mahasiswa UM Bandung, berikut caranya. Cara daftarnya melalu website resmi UM Bandung: pmb.umbandung.ac.id. Ada empat jalur masuk UM Bandung.

1. Jalur Rapor

Jalur masuk UM Bandung yang pertama adalah dengan lewat rapor. Jalur masuk ini kamu tinggal melampirkan rapor dari semester 1 hingga 5. Berkasnya satukan dalam satu file PDF maksimal 5 MB kemudian unggah di berkas opsional di website pendaftaran.

2. Jalur Undangan

Jalur masuk UM Bandung yang kedua adalah melalui jalur undangan. Bagi kamu yang pernah melaksanakan ujian di perguruan tinggi negeri (PTN), misalnya SBMPTN, SNMPTN, UTBK, mandiri PTN, SNBP, dan SNBT, akan mendapat kemudahan masuk. Yakni dengan syarat melampirkan kartu ujian dan hasil nilai ujian di PTN yang kamu ikuti. Kemudian kamu tinggal melampirkannya di berkas opsional di website pendaftaran.

3. Jalur CBT

Jalur masuk UM Bandung yang ketiga adalah dengan melakukan Computer Based Test atau CBT. Tes ini berlangsung secara online dan kamu akan mendapatkan akses melalu pesan whatsapp dari admin CBT.

4. Jalur Prestasi

Jalur yang terakhir masuk UM Bandung adalah dengan prestasi. Jika kamu punya prestasi keren (akademik dan non akademik), kamu bisa langsung daftar ke UM Bandung dengan melampirkan bukti sertifikat resmi dari lembaga penyelenggara. Ingat, sertifikat prestasinya maksimal dua tahun terakhir.

Nah, itulah empat jalur masuk ke UM Bandung. Jalur masuknya sangat gampang dan mudah dipahami calon mahasiswa baru. Bisa diakses via hape di mana pun dan kapan pun.

Kampus yang sudah berusia delapan tahun ini dekat sekali dengan Masjid Raya Al-Jabbar yang sedang viral. Jalan menuju UM Bandung sangat mudah dari arah mana saja karena berada di jalan nasional dan strategis sehingga calon mahasiswa baru dari seluruh Indonesia tidak akan kebingungan kalau menuju UM Bandung.

Informasi lebih lanjut bisa menghubungi nomor admin PMB UM Bandung di 081395046574 (Admin 1), 081395046575 (Admin 2), dan 087898786476 (Admin 3). Bisa juga melihat dan memantau akun resmi media sosial @umbandung, baik TikTok, Instagram, Youtube, Facebok, maupun Twitter atau X. Ayo daftar kuliah ke UM Bandung. Raih prestasimu bersama UM Bandung.***(FA/FK/CH)

Administrator

Mahasiswa UM Bandung Bersama IAI Persis Gelar Diskusi Darurat Politik Tanah Air

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PK IMM) Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung berkolaborasi dengan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Institut Agama Islam (IAI) Persis Bandung menggelar Diskusi Darurat Politik dan Kebijakan Publik pada Minggu (23/06/2024).

Kegiatan yang berlangsung di Risalah Coffe, Cibiru, Kota Bandung, ini mengusung tema "Darurat Politik Tanah Air" dan dihadiri oleh 30 mahasiswa dari kedua universitas.

Kegiatan ini menghadirkan Izmi Agista Noer Mauli sebagai Pemantik Aktivis Sosial. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mengkaji Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021, serta PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kurangnya informasi

Dalam pemaparannya, Izmi menjelaskan bahwa yang menarik bagi dirinya adalah Paragraf 3 tentang Penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Secara Prioritas (WIUPK). Pada Pasal 83A ayat 1, tertulis, "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat ditawarkan secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan."

Ia merasa bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan banyak hal dari ayat tersebut, terutama ketika badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan terlibat dalam proses pertambangan. Beberapa persyaratan dianggap terlalu memaksakan, seperti yang tertuang pada Pasal 79 ayat 4 poin A dan B.

“Persyaratan pertama adalah badan usaha pertambangan yang sudah berpengalaman. Namun, di Poin A ada kelonggaran yang memperbolehkan perusahaan baru asal didampingi oleh penambang berpengalaman. Apakah kelonggaran ini membuka peluang besar dalam pemanfaatan sumber daya alam? Atau hanya untuk memungkinkan penambangan? Selain itu, seberapa penting ormas keagamaan diberikan izin untuk proses pertambangan?” tegas Izmi dalam pemaparannya.

Izmi juga mengutip pernyataan Haris Azhar mengenai sejauh mana kebutuhan tambang di Indonesia, hingga melibatkan banyak elemen dalam kegiatan pertambangan. Menurutnya, banyaknya asumsi yang muncul di masyarakat terkait PP Pertambangan ini disebabkan oleh kurangnya kejelasan pemerintah dalam menyampaikan informasi terkait pertambangan.

Menurutnya, pemerintah tidak pernah transparan mengenai seberapa besar kebutuhan tambang masyarakat. Misalnya, jika hasil tambang memang sangat dibutuhkan, pertanyaannya adalah apakah yang dibutuhkan itu benar-benar hasil tambangnya ataukah pendapatannya?

Selain itu, dalam bahasannya mengenai BP Tapera, Izmi berpendapat bahwa program ini tidak efektif. Hal ini didasarkan pada perhitungannya, karena peserta baru dapat memanfaatkannya setelah masa kepesertaan mereka berakhir.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan, "Tabungan Perumahan Rakyat, yang selanjutnya disebut Tapera, adalah penyimpanan yang dilakukan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dapat dikembalikan bersama dengan hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir."

Menurutnya, alasan lain mengapa program ini tidak efektif adalah karena seiring waktu, kenaikan harga tanah akan berbeda dengan kenaikan upah, gaji, atau penghasilan. "Saya pernah membaca perbandingan antara kenaikan harga emas dan gaji PNS yang jomplang sekali dalam 20 tahun terakhir. Mengapa kita membandingkannya dengan emas? Karena sama, harga tanah pun tidak dapat dikendalikan," tandasnya.

Menjaga persatuan

Sementara itu, Ketua Pelaksana dari Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) 22 Universitas Muhammadiyah Bandung Fajar Abidin menyatakan bahwa acara diskusi hari ini berjalan lancar berkat dukungan dari berbagai instansi universitas, termasuk Kaprodi dan Kabag Kemahasiswaan.

Dalam diskusi ini, Fajar menyoroti bahwa PP Nomor 25 dan PP Nomor 21 Tahun 2024 menjadi pusat perdebatan di era sekarang karena sentimen masyarakat terhadap organisasi kemasyarakatan keagamaan. Ia menekankan pentingnya menjaga persatuan untuk mengatasi masalah kemasyarakatan dan mencegah perpecahan.

Terakhir, Tiara Cahyaningrum sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) 21 dari Institut Agama Islam (IAI) Persis Bandung, menyatakan minatnya terhadap tema diskusi yang diusung. Ia juga menyampaikan bahwa pihak IAI Persis Bandung, khususnya Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PIAUD, sangat menantikan kegiatan-kegiatan semacam ini.

“Tentu saja, topik diskusi yang dibawa oleh IMM PIAUD ini sangat menarik, terutama bagi mahasiswa PIAUD. Kami juga ingin keluar dari zona nyaman, menjauh dari pembahasan seputar anak usia dini. Jadi, kolaborasi antara IAI dan UMB ini sangat penting bagi kita,” tandasnya.***(Askhia/Asfi/Himayatul/Yogi/Bewara Pers)

Administrator

Autisme Disiplin Ilmu: Hambatan Kolaborasi dan Inovasi Ilmiah

Oleh: Ace Somantri*

UMBANDUNG.AC.ID -- Menarik untuk dicermati oleh para ilmuwan Indonesia, terutama praktisi pendidikan tinggi. Selama ini, pendidikan tinggi di Indonesia sangat didominasi oleh partisi yang terlalu membagi bidang dan rumpun ilmu secara ketat dengan tujuan utama untuk fokus pada ketercapaian keahlian tertentu.

Memang benar, ketika kita fokus pada disiplin ilmu tertentu, kita akan mendapatkan nilai-nilai keilmuan yang lebih khusus dan spesifik yang dikenal dengan spesialisasi.

Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa hal tersebut begitu diwajibkan hingga menjadi keharusan akademik dalam lingkup pendidikan tinggi, baik secara institusional maupun individu? Hal ini sering kali menyebabkan parsialitas yang tidak integratif dan tidak komprehensif.

Contohnya dalam dunia pendidikan kedokteran, di mana ada dokter umum, dokter spesialis, dan dokter sub-spesialis. Anehnya, dalam beberapa kasus pemeriksaan pasien di rumah sakit, semakin spesialis seorang dokter, semakin terbatas pengetahuannya tentang bidang lainnya. Padahal, tubuh manusia adalah satu kesatuan yang saling terkait.

Begitu juga dengan pemberian nomenklatur istilah disiplin ilmu dalam berbagai bidang dan rumpun ilmu, sering kali terkesan berbeda padahal sebenarnya sama. Yang lebih parah, disiplin ilmu sains dan teknologi sering kali dianggap sangat berbeda dengan disiplin ilmu sosial dan humaniora, seperti air dan minyak yang sulit disatukan. Akibatnya, sering muncul arogansi antar ilmuwan dalam bidang dan rumpun ilmu masing-masing.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sebenarnya kemunculan berbagai bidang ilmu memiliki titik singgung yang sama sehingga tidak ada dikotomi yang terlalu jauh. Perbedaan yang ada hanya pada paradigma yang dianut oleh masing-masing ilmuwan dalam mengembangkan keilmuannya. Hal ini terjadi ketika cabang-cabang dan ranting-ranting ilmu muncul yang sering kali menimbulkan egosentrisme dalam bidang ilmu, baik pada individu maupun kelompok ilmuwan.

Seharusnya hal ini tidak terjadi karena dampaknya tidak baik terhadap transformasi budaya ilmiah. Banyak hasil riset yang hanya menumpuk dan berhenti pada kertas, buku, serta jurnal untuk kepentingan pragmatis karir pribadi.

Hal ini menarik untuk disikapi dan direnungkan, terutama dalam artikel berjudul "Ke Mana Para Ilmuwan Kampus?" yang ditulis oleh Sulistiyowati Irianto. Tulisan tersebut secara lugas dan kritis memberikan kritik yang tajam kepada para ilmuwan, khususnya ilmuwan kampus yang terkesan sudah tidak lagi berada di jalur yang semestinya.

Mereka berlomba-lomba memenuhi syarat administrasi jabatan fungsional demi karir dosen, padahal amanat para pendiri bangsa menegaskan bahwa pendidikan tinggi adalah kunci cepatnya perubahan sebuah bangsa dan negara menuju kemajuan.

Namun, di Indonesia, sistem pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sebagai kawah candra dimuka segala bidang ilmu, belum mampu melahirkan hasil riset ilmiah yang up to date dan mampu memprediksi kehidupan yang akan datang.

Termasuk dalam fenomena integrasi interdisipliner yang masif dan akseleratif, tidak lagi tabu atau merasa arogan bahwa cabang ilmunya lebih hebat dari yang lain. Cara berpikir dan berperilaku demikian bukan karakteristik ilmuwan sejati, melainkan perilaku seseorang yang mempertahankan nilai-nilai kejahiliyahan yang sudah usang.

Parsialitas dan dikotomi ilmu di masing-masing bidang selama ini telah menjadi sikap dan budaya yang tidak baik, tak ubahnya seperti "orang autis" yang tekun dan sibuk dengan keilmuannya sendiri tanpa mau mengenal keilmuan lainnya.

Tidak heran, budaya riset di Indonesia saat ini masih terjebak dalam cengkraman penjajahan riset yang berhenti pada template dan publikasi jurnal. Sementara output dan outcome dari setiap riset sering kali tidak lebih dari sekadar formalitas, dengan inovasi yang dikembangkan banyak yang tidak solutif dan berkelanjutan, hanya berganti-ganti lokasi riset dengan tema pokok yang tidak berubah substansial.

Autisme disiplin ilmu sudah lama menjangkiti, di mana masing-masing disiplin ilmu sibuk dengan entitasnya sendiri dan sangat jarang berkolaborasi lintas bidang. Banyak alasan yang dikemukakan, merasa sudah cukup dan kadang-kadang merasa lebih baik dari yang lain.

Sekalipun banyak hasil riset atau penelitian, dampaknya terhadap kemajuan lingkungan sekitar tidak begitu terasa, dan ujung-ujungnya menyalahkan pihak lain.

Sementara hasil riset tidak dievaluasi secara jujur dan komprehensif, hanya untuk memenuhi tugas tri darma perguruan tinggi yang tercatat dalam sistem administrasi akademik kementerian terkait. Anehnya, kadang-kadang hasil riset-riset liar yang tanpa pakem justru banyak dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Alih-alih masyarakat terpelajar gemar mendirikan institusi pendidikan hingga perguruan tinggi, sangat jarang ada yang benar-benar mempersiapkan lulusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selama ini, kesannya hanya meluluskan tanpa merancang dengan baik langkah apa yang sebaiknya diambil setelah tamat.

Para pejabat pengelola institusi sering kali hanya fokus pada kelancaran keuangan tanpa melakukan evaluasi yang baik dan benar terhadap kondisi lulusannya. Mereka puas dengan informasi lisan dan data seadanya bahwa para lulusan sudah bekerja. Mereka tidak peduli jenis pekerjaan tersebut atau apakah keilmuan dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan pekerjaan dan kesejahteraan yang diterima.

Tugas dan tanggung jawab seorang ilmuwan memang banyak, apalagi ditambah dengan beban administrasi yang sangat membebani. Saat ini, riset dan penelitian di Indonesia cenderung lebih menekankan pada tuntutan beban administrasi, bukan pada kebutuhan kemajuan dan peradaban. Konstruksi paradigma riset yang dikembangkan tidak kuat, hanya cukup melengkapi hasil riset orang lain yang lebih dahulu ditemukan atau dikembangkan.

Selain itu, masalah akar ilmu di bidang sains dan teknologi tidak dipelajari secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kurikulum yang dikembangkan di berbagai disiplin ilmu yang sering kali tidak mempelajari secara rinci epistemologi, ontologi, dan aksiologi dari cabang dan ranting ilmu tersebut.

Selain pemerintah yang kurang memahami dan peduli terhadap peradaban, mereka hanya menginginkan kelanggengan kekuasaan, jabatan mentereng, dan gelar-gelar sosial lainnya. Bahkan, jika ada hasil riset anak bangsa yang memiliki reputasi dunia, sering kali tidak dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Saat ini, kooptasi pemerintah terhadap kemerdekaan ilmuwan hampir tidak ada. Berbagai regulasi yang muncul justru memandulkan kreativitas ilmuwan dan generasi anak bangsa.

Sebut saja pengembangan motor dan mobil listrik; sebelum teknologi ini ramai digunakan oleh masyarakat, anak bangsa sudah mengembangkannya secara mandiri namun berakhir tragis. Ironisnya, produk yang diperjualbelikan kepada rakyat Indonesia saat ini adalah karya bangsa lain.

Pertanyaan dalam artikel "Ke Mana Ilmuwan Kampus?" sangat beralasan. Ratusan hasil riset yang dipublikasikan hanya untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat fungsional, bukan untuk menambah peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saatnya penggerak kampus di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berdiri di atas kaki sendiri dan melebarkan sayap ilmu dengan berkolaborasi lintas bidang dan rumpun ilmu tanpa batasan.

Sinergikan dengan masyarakat sekitar untuk saling memanfaatkan setiap hasil karya karena terbukti ada beberapa desa yang maju pesat berkat kolaborasi dan sinergi kampus dengan pemerintah desa.

Bangunlah yang berselimut! Masyarakat terdekat menunggumu. Hilangkan sikap dan perilaku "autisme disiplin ilmu" yang hanya menambah dan menumpuk hasil riset yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Keprihatinan dan kekhawatiran muncul terhadap ilmuwan kampus yang dianggap tanpa arah, sebagaimana diungkapkan dalam artikel Sulistiyo di media Kompas. Kesadaran kita tergugah, malu dan merasa diri tidak berdaya meskipun memiliki sederet gelar akademik, tetapi miskin pembaruan dalam pemberdayaan umat dan masyarakat untuk kemajuan.

Setiap tahun, puluhan ribu lulusan sarjana lahir dari rahim kampus, tetapi kritik tajam membuat gedung-gedung megah kampus bergetar tanda malu terhadap kehidupan nyata.

Bagi yang menyadari, ini menjadi alarm penting, sementara yang masih tidur lelap akan terus mengalami autisme berkepanjangan. Akibatnya, keberadaan kampus akan mati dimakan rayap-rayap autisme dan egoisme para ilmuwan dan bukti menunjukkan satu per satu kampus mulai berguguran.

Ada harapan besar bahwa konsep "kampus merdeka" benar-benar merdeka tanpa intervensi dan penetrasi politis pragmatis yang hanya mengeksploitasi masyarakat, seperti kontroversi rencana kenaikan UKT beberapa waktu lalu. Bukan heboh tentang peningkatan jumlah dan kualitas riset aplikatif yang mengubah masyarakat sekitar.

Diharapkan sinergi antara berbagai pihak, baik industri skala kecil hingga besar serta kolaborasi dengan pemerintah setempat, menjadi benar-benar genuin dengan program dalam skala proyek besar yang mampu mengubah situasi dan kondisi masyarakat secara signifikan.

Ini sekaligus mempersempit tradisi penggunaan anggaran negara yang hanya sekadar terserap. Jika saat ini ada kolaborasi, sering kali hanya syarat, dengan anggaran fokus pada penguatan jejaring pengamanan politis yang terbatas dan tertutup. Wallahu'alam.

*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar

Administrator

UM Bandung Jadi Tuan Rumah Rakorwil MPKSDI, Dikdasmen-PNF, dan LPPM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung – Universitas Muhammadiyah (UM Bandung) menjadi tuan rumah penyelenggaraan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pendidikan Non-Formal (Dikdasmen-PNF), dan Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah (LPPM) PWM Jawa Barat.

Acara pembukaan dan Rakorwil MPKSDI, Dikdasmen-PNF, dan LPPM ini dilaksanakan di Auditorium KH Ahmad Dahlan, lantai tiga kampus UM Bandung, Jalan Soekarno-Hatta Nomor 752 Kota Bandung, dari Sabtu-Minggu (22-23-06/2024).

Rektor UM Bandung, Herry Suhardiyanto, menyambut seluruh peserta Rakorwil yang berasal dari seluruh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jawa Barat. Rektor juga meminta maaf jika ada kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan. Ia berharap kegiatan ini bisa menambah wawasan khususnya untuk semua insan pendidikan Muhammadiyah Jawa Barat.

“Selamat datang di kampus UM Bandung. Insyaallah UM Bandung terus berkembang dan meningkatkan kualitas. Dengan memiliki empat fakultas dan delapan belas program studi, alhamdulillah UM Bandung sudah terakreditasi baik sekali dari BAN-PT,” ujar Rektor.

Momentum kolaborasi

Sementara itu, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat yang membidangi MPKSDI, Dikdasmen-PNF, dan LPPM, Dadang Syaripudin, menyampaikan bahwa Rakorwil ini sangat penting dalam rangka meningkatkan dan memperkuat koordinasi hingga kolaborasi di antara majelis dan lembaga.

Dadang menyoroti jumlah pesantren di Jawa Barat yang saat ini masih berjumlah puluhan dan terus meningkatkan kualitas agar berkembang dengan baik. Ia juga menyinggung pengangkatan kepala sekolah di sekolah Muhammadiyah Jawa Barat yang kini lebih disederhanakan setelah melalui asesmen, termasuk asesmen Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) dan bahasa Arab yang menjadi ciri khas Muhammadiyah.

Ia menekankan agar Rakorwil ini merumuskan program dan kebijakan yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi menjadi solusi atas berbagai masalah yang dihadapi lembaga pendidikan dan pesantren Muhammadiyah di Jawa Barat. “Oleh karena itu, dua majelis dan satu lembaga dalam Rakorwil ini harus saling berkolaborasi,” tandas Dadang.

Hadir memberikan sambutan dan membuka Rakorwil adalah Ketua PWM Jawa Barat Ahmad Dahlan. Ia berterima kasih kepada panitia yang telah menyelenggarakan acara ini dengan baik, termasuk kepada UM Bandung yang telah menyediakan fasilitas. Dalam forum ini, Ahmad Dahlan menyampaikan visi Muhammadiyah Jawa Barat yaitu berkemajuan, bermarwah, dan berkepastian masa depan.

Ahmad Dahlan juga mengajak seluruh pimpinan dan pengurus Muhammadiyah di Jawa Barat agar produktif dalam menghasilkan produk dan aplikasi yang bermanfaat, agar semua sistem bisa terpantau dan terkoordinasi dengan baik. Menurutnya, Muhammadiyah yang bermarwah adalah Muhammadiyah yang berdaya saing.

“Muhammadiyah di abad kedua ini harus punya tesis tentang masalah bangsa yang harus diselesaikan, di antaranya kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, tradisionalisme dan formalisme yang membelenggu, dan sebagainya. Oleh karena itu, jangan sia-siakan aktif di Muhammadiyah. Bangunlah amal kita yang berdimensi jariah, termasuk juga program-program Muhammadiyah,” pungkas Ahmad Dahlan.

Peserta Rakorwil kali ini berjumlah sekitar tiga ratus orang, terdiri atas ketua dan pengurus Majelis Dikdasmen-PNF, MPKSDI, dan LPPM PDM se-Jawa Barat. Termasuk juga para kepala sekolah dan pimpinan pondok pesantren Muhammadiyah. Hadir pula Rektor UMC, perwakilan UMJ, UAD, Uhamka, Ketua Pemuda Muhammadiyah Jabar, IPM, IMM, Ketua PWA Jabar, dan tamu undangan lainnya. Rakorwil ini mengangkat tema "Optimalisasi Peran Pendidikan, Kaderisasi, dan Pesantren Menuju Muhammadiyah Berkemajuan."

Selain itu, ada juga pemberian penghargaan bagi AUM yang paling banyak mengirimkan peserta Olympicad ke-7 yang digelar belum lama ini. Pembukaan Rakorwil ditutup dengan penandatanganan naskah kerja sama Perguruan Tinggi Muhammadiyah Jawa Barat dengan Dikdasmen-PNF Jawa Barat, Lazismu PWM Jawa Barat, MPKSDI PWM Jawa Barat, LP2M Jawa Barat, PAUDASMEN PWA Jabar, IPM Jawa Barat, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan.***(FA/FK)

Administrator