Berita

Herry Suhardiyanto: Guru PAI Harus Tingkatkan Inovasi Pembelajaran

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung menjadi tuan rumah penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) kedua Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) yang digelar dari Sabtu-Minggu (09-10/11/2024).

Dalam sambutannya, Rektor UM Bandung Herry Suhardiyanto menekankan urgensitas revitalisasi pendidikan agama Islam (PAI) sebagai langkah strategis menuju Indonesia emas 2045.

”Situasi ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua. Namun, sesuai dengan semangat pembukaan UUD 1945, Indonesia harus tetap mempertahankan PAI dan tidak boleh ada pihak yang mendiskreditkannya,” tegas Herry Suhardiyanto.

Rektor UM Bandung ini juga menggarisbawahi pentingnya inovasi dalam pengajaran PAI untuk menyesuaikan dengan karakteristik siswa generasi saat ini.

”Tingkat inovasi kita masih tergolong rendah. Oleh karena itu, para guru PAI perlu mengembangkan kreativitas dalam pengajaran agar tetap relevan dengan zaman sekarang,” ujarnya sambil mengenang peran vital guru-guru agama di berbagai jenjang pendidikan dalam pembentukan karakter bangsa.

Sementara itu, Ketua Umum PP AGPAII Endang Zenal memaparkan perjalanan organisasinya yang telah berdiri sejak 2007. AGPAII telah berperan aktif membantu Kementerian Agama dalam menyalurkan informasi ke tingkat bawah dan telah menyelenggarakan empat kali kongres.

”Saat ini, jumlah guru agama Islam di Indonesia mencapai sekitar 248 ribu yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu PNS, P3K, dan honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta. Namun, yang telah menyelesaikan PPG belum mencapai setengahnya,” ungkap Endang.

Dalam forum tersebut, AGPAII juga menyuarakan pentingnya mempertahankan pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan nasional. Endang menegaskan tiga tujuan utama revitalisasi pendidikan agama Islam, yakni keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

”Pendidikan agama bukan hanya tanggung jawab guru agama, melainkan seluruh guru mata pelajaran. Kami berharap dapat bersama-sama membangun akhlak siswa menjadi lebih baik karena tantangan ke depan akan semakin besar. Hanya dengan kebersamaan dan kesiapan menjadi garda terdepan, kita dapat membangun karakter siswa yang lebih baik,” pungkasnya.

Pertemuan nasional ini menunjukkan komitmen kuat dari berbagai pemangku kepentingan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam di Indonesia, sekaligus mempersiapkan generasi yang berkarakter menuju Indonesia emas 2045.

Selain munas, dalam kesempatan ini juga diadakan pertandingan grand final olimpiade PAI nasional dan seminar dengan menghadirkan tiga narasumber ternama.***(FA/FK)

Administrator

Atip Latipulhayat: Pembelajaran PAI Harus Lebih dari Sekadar Teori

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat menegaskan posisi vital Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai fondasi fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Menurutnya, hal ini sejalan dengan landasan konstitusional negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"PAI menjadi wasilah atau sarana yang fundamental dan senantiasa harus ada untuk menjamin tegaknya negara kita," tegas Atip dalam seminar AGPAII di Universitas Muhammadiyah Bandung pada Minggu (10/11/2024).

Namun, Atip mengungkapkan keprihatinannya terhadap tantangan yang dihadapi dalam pengajaran PAI saat ini. "Kita menghadapi tantangan yang kompleks dan berat, yakni pengajaran PAI masih cenderung sekadar menjelaskan agama Islam tanpa menghadirkan esensinya," ujarnya.

Wamendikdasmen ini menilai perlu adanya perubahan paradigma dalam metode pengajaran PAI. Menurutnya, pembelajaran harus lebih kreatif dan mampu menghadirkan Islam secara nyata, tidak hanya berkutat pada penjelasan teoretis.

"Dakwah Rasulullah adalah contoh bagaimana menghadirkan Islam pada zamannya, menjadikan beliau sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik)," jelasnya. "Mari kita geser paradigma dari sekadar menjelaskan agama Islam menjadi menghadirkan agama Islam."

Lebih lanjut, Atip menekankan pentingnya menciptakan suasana pembelajaran PAI yang menyenangkan. "Pendidikan agama harus bermakna gembira, jangan sampai PAI menjadi sesuatu yang tidak diminati," tegasnya sambil menambahkan bahwa hal ini penting untuk mewujudkan umat Islam yang berkualitas melalui pendidikan agama yang lebih bermakna.

Pernyataan Wamendikdasmen ini menjadi momentum penting bagi pembaruan metode pengajaran PAI di Indonesia, sekaligus menegaskan kembali posisi strategis pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional.***(FA/FK)

Administrator

Kunci Kesejahteraan Pekerja Menurut Ahli Psikologi Industri UM Bandung

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Dosen Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung Tasya Augustiya menyatakan bahwa pemahaman mengenai kesejahteraan di tempat kerja, atau yang dikenal sebagai workplace well-being, kini semakin mendapat perhatian serius.

Bahkan, WHO turut menyoroti isu kesehatan mental di lingkungan kerja dalam peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia pada Oktober 2024, menandakan betapa krusialnya aspek ini bagi kesejahteraan pekerja.

Ahli psikologi industri dan organisasi ini juga menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai spiritual dan psikologis dari praktik salat Subuh ke dalam dunia kerja. Langkah ini bertujuan untuk mendukung kesejahteraan pekerja secara menyeluruh, baik secara fisik, mental, maupun emosional.

Tasya menekankan bahwa salat Subuh tidak sekadar ibadah. Namun, juga sebagai awal yang dapat menghidupkan semangat dan ketenangan batin sebelum memasuki rutinitas pekerjaan.

“Momentum ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat mental dan emosi melalui zikir dan doa pagi, yang mampu mengatur pikiran menjadi lebih tenang dan terkendali sepanjang hari,” ujar Tasya seperti dikutip dari program Gerakan Subuh Mengaji (GSM) Aisyiyah Jawa Barat belum lama ini.

Data dari survei global Gallup menunjukkan bahwa sekitar 41 persen pekerja mengalami stres pada 2023. Begitu pula menurut The Health & Safety Executive (HSE), sebanyak 1,8 juta orang mengalami sakit terkait pekerjaan, dengan 875.000 di antaranya mengalami stres, depresi, atau kecemasan. Hal ini menandakan bahwa ketidakseimbangan kehidupan kerja menjadi tantangan serius yang perlu ditangani.

Dalam paparannya, Tasya menjelaskan bahwa kesejahteraan di tempat kerja bukan hanya soal bebas dari stres, melainkan mencakup aspek penting lain. Misalnya menemukan makna dalam pekerjaan, memiliki hubungan sosial yang positif, serta menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Melalui penerapan lima pilar kesejahteraan PERMA (positive emotion, relationships, engagement, meaning, achievement), pekerja dapat mencapai kondisi yang optimal di tempat kerja.

Sebagai salah satu solusi, Tasya mendorong para pekerja untuk membawa semangat Subuh ke dalam pekerjaan mereka. Ia menyarankan untuk memulai hari dengan doa dan bersyukur, serta mengatur waktu sebaik mungkin, terutama dengan menuntaskan tugas-tugas penting pada pagi hari. ”Menghindari menunda pekerjaan dan mensyukuri setiap pencapaian juga dapat meningkatkan kesejahteraan diri,” katanya.

Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dengan menyediakan waktu untuk keluarga dan diri sendiri. Ia menyarankan agar pagi hari dijadikan momen apresiasi terhadap rekan kerja serta melakukan evaluasi diri pada malam hari sebagai refleksi untuk perbaikan di hari berikutnya.

“Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, diharapkan para pekerja tidak hanya merasa puas secara profesional. Namun, juga mampu menemukan makna dalam pekerjaan mereka yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih bahagia dan produktif,” tandasnya.***(FA/FK)

Administrator

Dosen UM Bandung Dorong Diversifikasi Pangan Untuk Atasi Kebergantungan Pada Beras

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Widhi Netraning Pertiwi, dosen prodi Agribisnis Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung, menyampaikan pentingnya diversifikasi pangan sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan keluarga.

Widhi juga menyoroti perbedaan konsep antara kemandirian pangan dan ketahanan pangan, yang masing-masing memiliki peran penting dalam sistem pangan nasional.

Hal ini disampaikan Widhi dalam acara Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat yang ditayangkan di Channel Youtube TVMU beberapa waktu lalu. Menurut Widhi, ketahanan pangan mencakup pemenuhan pangan bagi seluruh masyarakat dari segi jumlah, mutu, keragaman, hingga keamanan pangan.

Ia menjelaskan bahwa ada empat aspek utama yang menjadi pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan. "Ketahanan pangan tidak hanya berhubungan dengan kecukupan pangan, namun juga kemampuan masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan pangan secara adil dan merata," kata Widhi.

Ia menyebutkan bahwa konsep ketahanan pangan nasional ini selaras dengan kebijakan pemerintah. "Hal ini meliputi peningkatan produksi pangan lokal, penguatan sistem distribusi, dan akses pangan yang lebih baik bagi masyarakat rentan," tambahnya.

Widhi juga membahas sejumlah tantangan dalam mencapai ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. "Tantangan yang dihadapi meliputi perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, serta ketergantungan masyarakat pada beras sebagai bahan pangan utama," ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya diversifikasi pangan untuk menghadapi tantangan ini. "Upaya diversifikasi pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber pangan non-beras seperti umbi-umbian, jagung, dan kacang-kacangan," jelas Widhi.

Menurutnya, pangan non-beras memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Ia juga mendorong setiap rumah tangga di berbagai daerah untuk melakukan diversifikasi pangan. "Nantinya, setiap rumah tangga bisa membudidayakan sayuran dan tanaman herbal di pekarangan rumah," ujarnya.

Selain meningkatkan asupan gizi, kegiatan ini juga mengajarkan keluarga tentang pentingnya pemanfaatan lahan secara produktif. "Dengan diversifikasi pangan, semoga masyarakat bisa memperkuat ketahanan pangan secara berkelanjutan," pungkas Widhi.***(FK)

Administrator

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UM Bandung Raih Prestasi di Ajang IEYF 2024

UMBANDUNG.AC.ID, Jakarta -- Mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung Haris Wahyudin raih penghargaan sebagai “Best Participant” atau peserta terbaik dalam acara Islamic Economy Youth Forum (IEYF) 2024 yang berlangsung dari 28–31 Oktober di Jakarta.

Acara ini dihelat oleh Organization Islamic Cooperation (OIC) Youth Indonesia yang merupakan bagian dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Acara ini mengangkat tema ”Islamic Economy and Finance As A Driver of Resilient and Sustainable Economic Growth” yang membahas seputar ekonomi syariah, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa dan pemuda-pemuda dari Indonesia dan negara-negara luar, seperti Azerbaijan, Nigeria, dan sebagainya. Ragam pembahasan didiskusikan terkait perekonomian melalui kacamata Islam, dimulai dari pembahasan UMKM, finansial individu, hingga perekonomian di regional ASEAN.

Mahasiswa yang memiliki panggilan Hira ini menjelaskan terkait alasannya mengikuti acara ini sebagai bentuk diversifikasi keilmuan dan menambah jejaring yang penting untuk dimiliki oleh seorang mahasiswa.

”Forum ini menjadi ruang belajar yang sangat bermanfaat bagi saya untuk mengasah komunikasi, kepemimpinan, dan mempelajari ilmu-ilmu baru. Selain itu, melalui forum ini juga saya ingin memperkenalkan kampus saya, yaitu UM Bandung dan organisasi saya, yaitu Muhammadiyah, khususnya IMM Jawa Barat,” ujar Hira.

IEYF 2024 sendiri merupakan bagian dari Islamic Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2024. Acara ini juga dimeriahkan oleh kehadiran dari berbagai pemimpin organisasi dan institusi besar seperti Bank Indonesia, Islamic Develovement Bank, Islamic Cooperation Youth Forum, Majelis Bella Malaysia, dan beberapa organisasi lainnya. Acara ini ditutup pada 1 November 2024 di Jakarta Convention Center (JCC).

Lebih lanjut, Hira memaparkan harapan-harapan ke depannya untuk bisa berjejaring secara lebih luas lagi sembari memperkenalkan UM Bandung dan Muhammadiyah, khususnya IMM, di kancah internasional.

“Sebelum-sebelumnya saya sudah mengikuti hampir belasan kali forum dan konferensi berskala internasional dengan tema-tema berbeda yang salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan relasi dan tetap memposisikan diri sebagai seorang pembelajar,” lanjut Hira.

“Saya mengagumi tokoh-tokoh nasional dan Muhammadiyah, seperti Mas Mansur dan Agus Salim dan berharap dapat menjadi seperti mereka. Juga melalui partisipasi aktif di forum-forum dan konferensi internasional, harapannya bisa mengharumkan diri saya secara pribadi dan secara kelembagaan yang melekat dengan diri saya,” tutupnya.***

Administrator

Buya Cecep Ungkap Kekeliruan Etis dan Metodologis dalam Tafsir Ahmadiyah di Seminar UM Bandung

UMBANDUNG.AC.ID, Bandung -- Seminar ”Living Al-Quran: Kajian Tafsir Al-Quran dan Problematika Dakwah Islamiyah di Barat” yang diadakan pada Jumat (25/10/2024) di Auditorium KH Ahmad Dahlan, UM Bandung, salah satunya membahas perbedaan mendalam antara pandangan Muhammadiyah dan Ahmadiyah dalam menafsirkan Al-Quran.

Selain menghadirkan Amir Jamaah Ahmadiyah Indonesia dan dua mubalig Ahmadiyah, narasumber dari pihak UM Bandung diwakili Wakil Dekan FAI UM Bandung Cecep Taufikurrohman.

Dalam presentasinya, Buya, sapaan akrab Cecep, menegaskan perbedaan Ahmadiyah dan Muhammadiyah bukan hanya terkait furu’iyyah (cabang ibadah), melainkan menyentuh ushul al-aqidah yang dapat membawa pada kekufuran.

Buya mengingatkan bahwa meskipun tampak serupa dalam aspek penampilan, keyakinan Ahmadiyah terkait akidah berbeda fundamental dengan Muhammadiyah, terutama dalam masalah kenabian.

Kekeliruan mendasar

Menurut Buya, Ahmadiyah gencar menerjemahkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa dunia dengan target hingga seratus bahasa.

Namun, ia menunjukkan adanya kekeliruan mendasar dalam beberapa terjemahan versi Ahmadiyah yang dapat menyesatkan pemahaman Islam bagi kalangan awam.

Buya menemukan beberapa kerancuan mendasar dalam terjemah dan tafsir Al-Quran versi Ahmadiyah tersebut.

”Terdapat kekeliruan etis dan metodologis dalam penerjemahan dan tafsir Al-Quran versi Ahmadiyah. Terjemahan Al-Quran versi Ahmadiyah tidak dilakukan secara langsung dari teks Arab, tetapi dari teks terjemah bahasa Inggris dan Urdu. Jadi, ini bukan terjemahan Al-Quran, melainkan terjemah dari terjemahan Al-Quran,” ujar Buya.

”Hal tersebut dapat menyebabkan distorsi terhadap makna kata dalam Al-Quran. Pasalnya, penerjemah atau penafsir tidak akan dapat menangkap makna mendalam dari setiap kalimat yang digunakan dalam bahasa Al-Quran (Arab),” tambah Buya. Selain itu, imbuh Buya, salah satu kekeliruan metodologis yang sangat serius dalam terjemah dan tafsir Al-Quran versi Ahmadiyah adalah saat menerjemahkan dan menafsirkan peristiwa penyaliban dan pembunuhan Nabi Isa (QS An-Nisa: 157-158).

”Bagaimana mungkin penerjemah dan mufasir Ahmadiyah dapat menyimpulkan bahwa Nabi Isa berhasil ditangkap dan disalib, tetapi tidak mati di tempat penyaliban? Ini kesimpulan yang sangat keliru dan menyesatkan. Sebab, ayat di atas secara tegas dan lugas menegaskan bahwa ‘mereka tidak membunuh Isa dan tidak menyalib Isa’, kok Ahmadiyah menyimpulkan bahwa Nabi Isa tertangkap dan disalib?” tanya Buya.

Simpulan tersebut, kata Buya, jelas bertentangan dengan teks ayat Al-Quran. Simpulan ini diperparah dengan penggunaan referensi tafsir Ahmadiyah.

Alih-alih menggunakan tafsir-tafsir mu’tabar (yang keabsahannya diterima semua kalangan), seperti Al-Thabari, Al-Qurthubi, dan lain-lain, tegas Buya, justru penafsir Ahmadiyah lebih banyak mengutip Perjanjian Baru.

“Padahal, di daftar referensi, Ahmadiyah mengklaim menggunakan tafsir-tafsir tersebut sebagai referensi,” imbuh Buya.

Salah satu contoh penafsiran yang keliru akibat penggunaan referensi yang tidak tepat tersebut, menurut Buya, yakni saat Ahmadiyah menafsirkan konsep khataman nabiyyin dalam Surah Al-Ahzab ayat 40.

Kerancuan metodologis dalam terjemah dan tafsir versi Ahmadiyah tersebut, kata Buya, terlihat dari sikap tidak konsisten Ahmadiyah dalam menerapkan metode penafsiran Al-Quran yang diyakini Ahmadiyah sendiri.

”Tadi kita semua mendengarkan penjelasan dari Amir JAI bahwa di antara karakteristik tafsir Ahmadiyah adalah menggunakan sunah sebagai alat kedua untuk menafsirkan Al-Quran. Namun, faktanya saat menafsirkan kata khataman nabiyyin dalam Surah Al-Ahzab ayat 40, Ahmadiyah tidak merujuk pada penjelasan hadis-hadis sahih bahwa makna khataman nabiyyin adalah nabi terakhir, di mana Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada nabi setelah beliau,” jelas Buya.

”Ahmadiyah malah membuat interpretasi sendiri yang sesuai dengan keyakinannya, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Hadits sahih,” imbuh Buya sambil menjelaskan hadis-hadis sahih yang berkorelasi dengan makna khataman nabiyyin dalam ayat di atas. Selain itu, lanjut Buya, sikap inkonsistensi metode penafsiran versi Ahmadiyah sangat terlihat dalam menerapkan kaidah bahasa Arab. Contohnya, ketika Ahmadiyah menjadikan Surah Al-Hajj ayat 75 sebagai argumen bahwa kenabian masih berlangsung.

Menurut mereka, dalam ayat tersebut ada kata-kata ”yashthafi” yang merupakan kalimat fiil mudhari yang bermakna sedang dan akan/berkesinambungan.

Makna ayat ini menurut Ahmadiyah adalah Allah sedang dan akan terus-menerus memilih para utusan-Nya dari kalangan malaikat dan manusia. Dalam pandangan Ahmadiyah, kenabian belum berakhir dengan wafatnya Rasulullah.

Namun, di tempat lain, lanjut Buya, untuk membenarkan bahwa Mirza Gulam Ahmad (MGA) adalah nabi setelah Nabi Muhammad, Ahmadiyah menggunakan surah Yasin ayat 21 yang berbunyi ”wa ja’a min ahlil madinati rajulun yas’a.” Pada ayat tersebut digunakan kalimat wa ja’a (dan telah datang) kalimat fiil madhi (lampau).

Tafsir versi Ahmadiyah menegaskan bahwa kata rajulun (seorang laki-laki) tersebut adalah MGA, padahal dalam ayat tersebut ditegaskan ”telah datang”, kalimat di atas menggunakan fi'il madi (ja’a) lampau. Jarak turun ayat ini ke deklarasi MGA 1.350 tahun. ”Di mana konsistensinya?” tanya Buya.

Konsep kenabian

Buya juga menyoroti kontradiksi dalam penggunaan konsep kenabian dalam Ahmadiyah. Di satu sisi Ahmadiyah menyatakan Nabi Isa telah wafat untuk membenarkan bahwa MGA adalah Al-Masih Al-Mau’ud.

Di sisi lain mereka menggunakan dalil bahwa Isa Ibnu Maryam akan turun di akhir zaman untuk membenarkan pandangan mereka bahwa kenabian belum ditutup.

”Hal ini jelas kontradiksi. Lagi-lagi ini berawal dari kekeliruan Ahmadiyah dalam memaknai kata khataman yang hanya diartikan paling utama/perhiasan,” ujar Buya sambil mengutip referensi yang ia gunakan.

Dalam Al-Quran, kata khatama memiliki tidak kurang dari lima makna, termasuk bermakna penutup, akhir, dan pengunci. Ahmadiyah hanya memilih salah satu dari makna tersebut tanpa qarinah.

Padahal, dalam ilmu tafsir, kalimat yang musytarak makna (bermakna ganda), selama makannya tidak saling kontradiktif, seluruh makna tersebut dapat digunakan untuk saling menguatkan.

”Dari kaidah ini, makna khataman nabiyyin adalah nabi paling utama, penghulu para nabi, perhiasan para nabi, sekaligus penutup dan pengunci kenabian sehingga tidak ada nabi lain setelahnya. inilah sumber kekeliruan makna khataman nabiyyin versi Ahmadiyah,” kata Buya mengakhiri presentasinya.

Untuk itu, Buya menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menafsirkan Al-Quran agar pemahaman agama tidak menyimpang.

Buya berpendapat bahwa perbedaan pandangan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah harus didekati dengan dialog. Namun, tetap perlu memperhatikan prinsip-prinsip akidah Islam yang fundamental.***

Administrator